Berita Baik
(2015)
Gue, Marsha. Bukan Marsha Timothy
yang married sama cowo sekeren Vino. Mungkin pernikahan mereka terlalu
indah. Sama, gue pernah mengalami yang
namanya walking down the aisle digandeng oleh ayah gue. Tapi pernikahan gue
kandas setelah gue punya Rere di dalam tubuh gue. Gue lagi hamil saat Baskoro
meninggal karena kecelakaan maut di tol Padalarang. Itu sudah lima tahun yang
lalu. Dan ceritanya gue udah move on. Gue masih menyimpan Mas Bas di hati gue.
Tapi gue perlu hidup untuk Rere, untuk buah cinta gue dan Mas Bas. Masa sulit
itu biarlah jadi kenangan. Banyak yang datang ke rumah untuk menyemangati gue
termasuk si mantan pacar yang katanya dia masih sayang sama gue hingga detik
ini. Tapi sekali illfeel ya illfeel terus.
Gue tinggal di rumah ayah dan ibu
gue sekarang. Rumah hasil tabungan gue dan Mas Bas, gue jual. Sepersekian gue
kasih ke orang tua Mas Bas. Sepersekian gue masukin ke tabungan Rere. Sisanya
masih bisa kebeli apartemen dua kamar untuk investasi. Kalo ditanya hubungan
gue sama keluarga Mas Bas, gue masih berhubungan baik sama mereka. Gue juga
sesekali “menitipkan” Rere pada eyangnya. Saat gue ke kantor, Rere akan
ditemani opa dan omanya. Opa-nya Rere-lah yang menjemput Rere pulang sekolah.
Kalau om-nya Rere lagi pulang dari Singapura, om-nya juga rela jadi supir antar
jemput Rere. Just info, kakak gue itu masih single hingga usia 34 tahun. Ada
yang minat? Sebagai single parent, pasti ada suka dukanya. Gue bahkan jadi
akrab sama Mba Ning yang juga single parent. Bahkan dia punya dua anak. Gue
banyak belajar dari sosok Mba Ning, senior manager di kantor gue yang keturunan
Jawa tulen.
“Marshaaaa!!!” teriak suara dari kejauhan.
Cowok dengan tinggi badan 180 cm berkacamata hitam berkaos polo putih itu
tadinya terlihat begitu menawan. Namun gue rasa, cewek – cewek bakal langsung
ilfeel kalo lihat dia teriak dan sambil berlari kecil ke arah gue. Berasa
sepuluh tahun nggak ketemu. Padahal dua minggu lalu kakak gue baru pulang ke
Jakarta. Profesinya sebagai fotografer membuat dia harus bolak – balik Jakarta –
Singapura.
“Hai, Mas,” sapaku sambil mencium
pipi kiri dan kanannya.
“Rere nggak diajak?”
“Aku langsung dari kantor.” Mata
gue menangkap sesosok pria berambut pendek dengan celana “ngatung” yang
berjalan mendekati kami.
“Lo ke mana aja?” tanya laki –
laki itu. Wajahnya tidak tampan. Tapi senyumannya itu barusan bisa bikin cewek
ABG pada meleleh. Bukan gue ya, tapi cewek ABG.
“Ini adek gue, Marsha. Dan Marsha,
ini Abi, asli Indonesia baru join di company tempat gue kerja. Sama, fotografer
juga. Tapi gue lebih senior.” Gue menyambut ramah tangan itu. Di situlah
pertemanan kami dimulai.
“Ini mamanya Rere? Tadinya gue
syok soalnya lihat foto anak kecil di meja kerja Alan. Tahunya itu
keponakannya. Gue pikir usaha gue nyomblangin dia sama anak direktur gagal.
Fiuh!”
Gue tidak bertukar nomor hp, pin
BB ataupun Line account. Gue belum merasa perlu. Tapi kehadiran dia di rumah
ayah cukup membuat gue risih. Mungkin karena berasa asing kali ya. Satu atap dengan orang baru dikenal. Kalo gue tebak umurnya 28 tahun. Di bawah gue 2
tahun. Kadang kala, tingkahnya begitu kekanakan sehingga Rere pun nyaman
bermain dengannya. Sudah hari kelima, Abi menginap di rumah ayah. Ternyata dia
bukan asli Jakarta. Orang tuanya menetap di Surabaya. Dan berhubung apartemen
yang dia beli belum serah terima kunci, dia harus menerima tawaran menarik dari
kakak gue yang secara nggak langsung mengganggu ketentraman rumah ini.
“Kapan lagi ke Singapura?” tanya
gue rada judes.
“Tadinya mau balik lusa. Tapi
tahunya gue diminta nungguin Callista, model baru dari Sydney. Dia bakal nyampe
di Indo minggu depan.”
Berita buruk yang berakhir menjadi
berita baik. Ceritanya bermula dari Alan yang minta dijemput di studio. Tapi
gue ada meeting. Alhasil, Abi lah yang nganterin gue ke kantor, dan setelah
menurunkan dia, gue baru ke studio. Dan selama tiga jam perjalanan...
“Gue salut sama lu, Marsha,” ucap
Abi pelan bahkan hampir tidak terdengar. Gue pura – pura cuek. Jujur, gue salah
tingkah. “Lu itu sosok yang gue kagumi.” Gue makin salah tingkah. “Marsha, gue itu udah kenal lu lama, dan
setelah tahu Alan itu kakak lu, gue yang minta sama bos untuk diikutkan ke
Jakarta.”
Siapa dia? Kenal lama? Aduh tiba –
tiba gue merasa gue amnesia.
“Tapi Bi, gue nggak merasa pernah
kenal lu.”
“Setiap sabtu dan minggu pagi jam
8 café Lullaby. Kurang lebih tiga bulan.”
Café Lullaby? Kenapa dia tahu?
Kebiasaan gue dulu dari pacaran sama Mas Bas. Kami selalu nyempetin breakfast
bareng di café itu di setiap weekend. Kebiasaan itu tetap berlanjut hingga kami
menikah dan hingga Mas Bas pergi dari dunia ini.
“Gue parttime di sana. Tiga bulan.
Maaf, tapi perhatian gue selalu tertuju sama lu. Dua cangkir capucino hangat
dan satu slice cheesecake.” Dua cangkir tapi gue selalu sendiri. Tiga bulan
pertama, masa tersulit dalam hidup gue. Saat itu Rere sudah enam bulan di dalam
kandungan gue. “Maaf, gue nggak bisa menemani lu di saat itu. Gue memilih untuk
membiarkan itu berlalu begitu saja. Sampai buku ini tertinggal di meja.”
Abi mengeluarkan sebuah buku dari
dalam tasnya. Di halaman pertamanya tertulis : “Kepada Kekasihku, Baskoro.”
Buku itu gue beli buat Mas Bas, bukan hadiah ulang tahun, hanya sekedar hadiah.
Air mata gue turun perlahan.
Tiba-tiba gue sangat merindukan Mas Bas. Mata bulatnya, bibir tipisnya, sedikit
kumis di atas bibirnya, pegangan tangannya yang hangat.
“Maaf kalo gue ngingetin lu sama
mendiang suami lu. Tapi gue bakal tetap menunggu.”
Apa? Kuping gue nggak salah denger
dong? Menunggu? Tunggu dulu, kenapa seolah – olah pria ini sedang mengungkapkan
rasa cintanya?
“Abi, terima kasih karena lu
kembali menghadirkan memori indah gue sama Mas Bas. Terima kasih untuk masih
menyimpan buku ini.”
Berita baiknya adalah gue masih
punya satu kenangan yang tersisa setelah sebagian barang pribadi Mas Bas gue bakar
dan sisanya gue kembalikan kepada orang tua Mas Bas. Rasa sesal atas itu sangat
besar. Tapi paling tidak buku ini mengatasi sesal itu dan dapat mengobati rasa
rindu gue sama Mas Bas.
No comments:
Post a Comment