Angin
sepoi – sepoi mengoyang – goyang poni gue. Mulai terasa risih karena sudah
sekian tahun gue tidak pernah berponi. Sejak dua hari lalu gue memberikan
kesempatan diri gue “me-time”. Dimulai dari perawatan rambut, hingga ujung
kaki. Rasanya gue udah lama banget tidak memanfaatkan cuti seperti ini.
Sendirian menatap langit biru membiarkan pancaran matahari sore jatuh di atas
kulit gue. Nggak apa – apa menghitamkan kulit sekali – kali. Biar ada bukti ke
kantor, kalo gue emang liburan ke Bali. Tiga hari tanpa smartphone, tanpa telepon
kantor, tanpa komputer, tanpa suara Rere. Ah, tiba – tiba gue kangen sama bocah
yang satu itu. Malaikat kecilku yang selalu menjadi pelipur lara. Tangisan
pertamanya saat dia lahir dari rahim gue, awal mula Rere mulai merangkak,
tawanya yang seolah tak kenal sedih itu apa, selalu menjadi hal terindah dalam
hidup gue. Gue berjanji Rere akan tumbuh di lingkungan yang baik dan selalu
mendukung dia dalam hal yang benar. Gue janji gue akan jadi ibu sekaligus ayah
untuk Rere.
Senja
kian larut. Tawa – tawa kecil samar terdengar. Sekumpulan anak muda berbikini
berpose seksi. Ombak berderu – deru tak mau kalah. Beberapa kali penjual
makanan keliling, pengrajin tato, hingga penjual oleh – oleh menghampiri gue.
Maaf, gue hanya mau menikmati sore ini. Sekali saja.
Hanya
beberapa langkah dari Pantai Kuta, gue sudah tiba di hotel. Seorang resepsionis
memanggil gue.
“Selamat
sore, Ibu, dengan Ibu Marsha?”
“Ya
betul,” jawab gue singkat.
“Tadi
ada telepon untuk Ibu. Beliau meninggalkan pesan untuk menelpon kembali ke
nomor ini,” diserahkannya secarik kertas bertuliskan nomor telepon.
“Oh
baiklah. Terima kasih.”
“Terima
kasih kembali. Selamat beristirahat.”
Sehabis
mandi, gue merapikan beberapa pakaian gue. Sesuai jadwal, gue sudah harus check
out besok pukul 10.00 dan menuju Bandara Ngurah Rai. Sebelum tidur, gue
menyempatkan menyalakan smartphone gue dan menghubungi nomor yang diberikan resepsionis
tadi.
“Halo,”sapa
suara di seberang sana. Suaranya masih sama, selalu membuat gue tidak ingin
mengakhiri pembicaraan. Ada rasa rindu bergejolak di dalam hati. Dari satu kata
yang diucapnya, gue bisa tahu seberapa enerjik dan menariknya sosok itu.
“Hai!”
balas gue riang.
“Besok
kujemput di bandara ya. Sesuai jadwal.”
“Ya
boleh. Sesuai jadwal. Semoga tidak delay.”
“Baiklah.
Selamat malam.”
***
Suasana
siang itu cukup cerah. Kota ini tidak asing bagi gue. Selamat datang, Malang. Ternyata kita bisa berjumpa lagi. Sambil
membetulkan posisi kacamata hitam gue, gue mencari sosok yang katanya mau menjemput gue. Mata gue
menangkap seorang anak kecil tampak akrab dengan seorang laki – laki dewasa.
Senyum si laki – laki yang begitu bahagia dan tampak memanjakan sang anak.
“Hai!”
“Hai!”
Wangi tubuhnya benar – benar menggodaku untuk memeluknya. Setelah cipika cipiki
singkat, ditariknya pegangan koper. Semua bawaan gue berpindah ke laki – laki itu.
“Nah
siapa itu?” tanyanya pada gadis kecil di sebelahnya. Gadis kecil itu berlari ke
pelukan gue.
“Rere
nggak bandel kan dua hari ini? Nggak nyusahin kan?” tanya gue sambil berlutut
dan memeluk Rere.
“Nggak,”
jawab Rere singkat.
“Syukurlah.
Rere kangen nggak sama mama? Mama banyak bawain oleh – oleh buat kamu.”
“Asyikkk!”
“Mas
Allan?” tanyaku pada laki – laki itu sambil bangkit berdiri dan tetap
menggandeng jemari mungil Rere.
“Dia
tidak mau ikut ke hotel. Bapak sama ibu ke rumah sanak famili. Tadi diantar
supir hotel.”
“Makasi
ya. Pasti Rere sangat merepotkan.”
“Nggak
kok. Lagian Bapak dan Ibu juga turut jagain Rere.”
“Ide
kamu sih… Nyuruh aku ke Bali sementara kalian semua ke Malang,” ucapku manja
setengah menyalahkan.
“Bukannya
itu keinginan kamu dari tahun lalu? Lalu aku bantu merealisasikannya, dan
sekarang aku disalahkan?” balasnya setengah menggoda.
“Terima
kasih ya,” bisik gue singkat. “Jadi Rere, besok mau ke mana? Ke Jatim Park-nya
masih nungguin mama kan?” tanya gue sambil mengayunkan lengan Rere.
ke, ada lanjutan na ga ni?? seru baca na :) gw tungguin lanjutan ceritana ya :))
ReplyDelete